Tentang kehadiran, bapakku
menceritakan sebuah cerita: bapakku menyukai daun pintu dan jangka. Baginya,
keduanya sama, keduanya sejalan.
Aku ingat saat bapak menggantungkan
jangka-jangka di atas daun pintu rumah. Setelah itu ia akan menatapi
jangka-jangka itu dalam jangka waktu yang tak pernah ia tentukan.
Dalam matanya, seperti sudut tidak terjangkau. Angin menggoyang-goyangkan jangka-jangka itu. Bapak tersenyum. Aku tertegun.
Dalam matanya, seperti sudut tidak terjangkau. Angin menggoyang-goyangkan jangka-jangka itu. Bapak tersenyum. Aku tertegun.
Melihat angin bekerja,
meniup jangka-jangka, melahap sudut tak terjangkau. Tentang kehadiran: masih ia
sambangi sudut-sudut tak terjangkau itu. Matanya begitu tabah. Ia tak pernah
lelah.
Tentang kehadiran,
bapakku selalu menyukai daun pintu dan jangka. Dalam daun pintu ia melihat
kepergian. Dalam jangka ia melihat kedatangan. Menarik, ia sudah begitu banyak
merasakan kepergian, orang-orang itu melewati daun pintu. Tak berpaling, pun
bergeming. Maka ia pun menali jangka-jangka di atas daun pintu itu. “jangka?”
kataku. “iya”. “Karena sejauh apapun
sudut yang kau tuju, kau pasti selalu kembali ke titik awal”.
Aku terperangah.
Kini aku melihat keduanya dengan cara yang berbeda.
Kini aku melihat keduanya dengan cara yang berbeda.
08/06/15
0 Comments
Post a Comment