Aku selalu menyukai
kamarmu.
Tak seperti
kebanyakan kamar yang sudah aku singgahi, kamarmu menyimpan suatu perbedaan.
Di saat kamar orang lain dipenuhi barang-barang nihil estetika, kamarmu malah dipenuhi cermin.
Di saat kamar orang lain dipenuhi barang-barang nihil estetika, kamarmu malah dipenuhi cermin.
Lalu engkau selalu menatapi cermin-cermin itu; di dinding yang rapi, di atap mereka bergelantung, di lantai
mereka berserakan -- bila tak ingin mengatakannya pecah.
Wajahmu utuh di dalam sana.
Barangkali malah, rata.
Ada yang hilang di sana. Tetapi engkau tak pernah mencarinya.
Sebab, bisa saja itu menjadi senyumku, senyumnya, senyum entah siapa, atau senyummu sendiri.
Wajahmu utuh di dalam sana.
Barangkali malah, rata.
Ada yang hilang di sana. Tetapi engkau tak pernah mencarinya.
Sebab, bisa saja itu menjadi senyumku, senyumnya, senyum entah siapa, atau senyummu sendiri.
Sampai suatu saat,
cermin-cermin di atap itu berjatuhan.
Satu demi satu. Berserakan – bila tak ingin mengatakannya pecah -- di lantai.
Satu demi satu. Berserakan – bila tak ingin mengatakannya pecah -- di lantai.
Engkau memilih untuk tertawa.
Apa-apa yang pernah
menjadi dirimu, berjatuhan ke bawah. Cermin-cermin itu kemudian berubah menjadi kaca.
Pecahan demi pecahan itu menyibak.
Mungkin, suatu saat nanti kita berdua harus memainkannya; bermain permainan melempar kaca ke arah muka.
Pecahan demi pecahan itu menyibak.
Mungkin, suatu saat nanti kita berdua harus memainkannya; bermain permainan melempar kaca ke arah muka.
Semarang, Agustus 2015
0 Comments
Post a Comment