Malam tadi, Sari memandangi air mancur menari, sekali
lagi.
Air mancur yang berwarna-warni dan
mempunyai semburat air yang terlihat seperti sedang menari-nari itu selalu
dapat menarik perhatian Sari. Maklum saja, desain jendela kamarnya dapat
memungkinkan ia untuk melihat air mancur yang berada di rumah keluarga
milyarder di seberang jalan tersebut.
Air mancur menari itu menjadi hiasan halaman
rumah megah beraksen modern di seberang jalan rumah Sari, sehingga siapapun
yang sedang melewati rumah itu sudah pasti akan melihat takjub air mancur itu.
Ia selalu kagum dengan warna-warna laser
yang dibiaskan oleh air yang memancur itu. Biru, oranye, kuning, merah, ungu.
Pantulan-pantulan warna tersebut seakan menjadi candu bagi Sari untuk terus
menatapnya, tanpa henti. Bahkan, ia selalu membayangkan untuk dapat menari-nari
bersama air mancur menari tersebut. Sebuah kekuatan magis lantas seakan
menggerakkan kedua tangan Sari di udara. Ia menari-nari mengikuti irama dari air
mancur yang indah itu.
Dalam tariannya, Sari merasa dapat
menyatu dengan air mancur itu. Lewat penyatuan itu, Sari merasa ia dapat lebih
mengenal dirinya sendiri. Mencintai, barangkali adalah mengenal diri sendiri.
Tidak ada ruang di kepala dan di hati Sari yang tidak dapat menampung kehadiran
air mancur menari yang berada di seberang rumahnya itu. Sudut matanya dapat menangkap
kerlap-kerlip yang padu padan dengan geliat air yang menari di air mancur
buatan itu.
Semakin Sari memandangi air mancur
menari tersebut, rasanya ia tidak ingin melepaskan pandangannya walau barang
satu detik saja. Sari mencintai air mancur menari itu. Seakan-akan ia ingin
menyingkirkan segala kekalutan pikirannya, pergi mendekati air mancur itu, dan
menari bersamanya, ditemani biasan laser dan lampu hingga pagi menjelang.
Bagi Sari saat ini, hanya air mancur
menari itulah yang tidak dapat membuat ia sedih bercampur marah. Malah, air
mancur itu mampu menenangkan berbagai kecamuk yang ada di hatinya. Betapa kabut
di pikirannya dapat sirna. Senyum itupun baru dapat mengembang, pelan namun
pasti disaat ia memandangi siluet-siluet air yang menari-nari diseberang sana.
Memang begitulah Sari menjalani
kehidupan sehari-hari. Sekilas, setiap orang akan melihatnya sebagai seorang
perempuan remaja yang baik-baik saja. Namun, di dalam fisik remajanya, terdapat
mental setara anak SD. Setidaknya itulah penuturan dokter pilihan bapak dan ibu
Sari yang selalu mengontrol dan mengamati perkembangannya.
Rupa-rupanya bapak Sari bersikeras tidak
menghiraukan vonis dokter tersebut. Ia tetap menganggap Sari sebagai anak yang
normal.
“Dia bisa membaca, menulis, bahkan
berhitung. Down syndrome apanya!”
Ketus Bapak kepada ibunya tempo waktu.
Memang, Sari dapat membaca dan
berhitung. Tetapi, chaos akan terjadi di saat mood Sari berubah. Sari yang
mudah tersulut emosi bahkan ketika tidak ada pemicunya itu akan mulai berteriak
dengan begitu keras lalu kemudian menangis.
Sulit menakar secara pasti apa yang ada
dipikiran Sari sehari-hari. Namun, lagi-lagi bapaknya tidak peduli. Bagi sang
bapak, Sari adalah puteri jelitanya yang sama dengan perempuan-perempuan lain
sebayanya. Maka, bapak tetap mendaftarkan Sari ke sekolah formal untuk
anak-anak normal. Sari pun tergabung dalam kelas inklusif. Dirasa kurang, bapak
Sari pun masih menggembleng Sari dengan beragam les yang harus diikuti olehnya
setiap sore.
Ia pun menjelma menjadi perempuan yang
lebih sibuk dari kebanyakan perempuan seusianya. Maka, mungkin satu-satunya
hiburan yang dapat dinikmati Sari adalah air mancur menari yang berada di
seberang rumahnya. Matanya seketika hidup disaat memandangi air mancur yang
warna-warni tersebut.
***
“Pak.. Pak Nanda dimana bu?” Ujar Sari melalui
pesan pendek ke ibu guru lesnya, menanyakan keberadaan Pak Nanda yang merupakan
satu-satunya guru les Sari yang berjenis kelamin pria.
Ada perasaan entah yang selalu
berkecamuk setiap Pak Pak Nanda sedang mengajari Sari. Mata Sari selalu
terbelalak lebih dari biasanya setiap melihat pak Pak Nanda. Bumi seakan
berputar secara terbalik. Sejauh ini, hanya Pak Pak Nanda yang mampu membuat
Sari sedikit melupakan air mancur menari.
Mungkin sudah ratusan pesan pendek yang
dibuat Sari yang ia tujukan kepada Pak Pak Nanda tersebut. Namun, tidak ada
satupun balasan dari Pak Pak Nanda untuknya. Sari tampaknya tidak ingin cepat
menduga-duga.
Sambil menunggu balasan, Sari sesekali
membuka-buka buku pelajaran inggrisnya. Sayangnya tidak ada yang dapat ia
mengerti. Tidak, pikirannya yang tidak ingin kesana. Sari membuka satu per satu
halaman buku pelajaran inggrisnya, hanya saja pikirannya tertuju ke hal yang
lain. Rasa cemasnya membuncah, namun tentu saja ia ingin tetap tenang. Ia buka
halaman demi halaman lagi. Telepon genggamnya berdering.
“Nggak tahu, Sari. Ada apa tho?”
Ada apa. Pertanyaan itu seakan menjadi
setengah jebakan dan setengah lagi momok bagi Sari. Sari tahu ia tidak bisa
protes dengan pertanyaan yang dilemparkan kepadanya itu. Ia hanya tidak yakin
harus menjawab pertanyaan tersebut dengan bahasa yang seperti apa. Senyap.
Ia beralih untuk memandangi layar ponsel
itu sembari berpikir. Ada kalimat yang ingin ia tulis. Sebuah alinea yang sudah
sebenarnya telah berada di pucuk pikiran
dan juga mulutnya. Hanya saja ia urung untuk menuliskannya.
“Ibu, hari ini saya ulang tahun..”
Ya. Ulang tahun. Ada memoir-memoir masa
kecil setiap kali Sari mengucapkan kata itu. Ia pun senyum-senyum sendiri
mengenang masa kecilnya. Ada dua hal yang selalu ia ingat pada masa kecilnya;
ibu dan pohon rambutan. Ibu selalu melihat dan menemani Sari yang
berlari-larian di halaman rumahnya sembari membawa piring tempat makan siang
Sari. Di halaman, pohon rambutan menyibakkan buah-buahnya yang siap untuk
dipanen.
Sari menyukai pohon rambutan dan juga
mencintai ibunya. Masa kecil yang begitu indah tersebut selalu menari-nari di
lubuk hati Sari, persis seperti tarian air yang dilakukan oleh air mancur
menari itu. Hadiah dari kehidupan tersebut tidak akan pernah dapat dilupakan
olehnya. Walau kehidupan itu tidak pernah berangsur lama, namun dengan mengingat
memoir-memoirnya, Sari merasa ia mendapatkan tambahan waktu untuk dapat
mengenangnya.
Beberapa tahun yang lalu pohon rambutan
itu ditebang bapak. “Pohon itu sudah lelah,” kata bapak. Mungkin, jalan pikiran
bapak memang begitu sederhana. Bapak mengambil sebuah keputusan sembari
berharap keadaan akan berjalan seperti biasa lagi. Sari yakin, seandainya bapak
membelikan keluarga ini sebuah bibit pohon rambutan yang baru, maka ibu akan
berangsur-angsur sehat kembali.
“Wah, selamat yo Sari! Semoga panjang umur dan apa yang dicita-citakan bisa
tercapai, ya..”
Sari tersenyum memandangi layar
ponselnya.
“Terimakasih, Ibu.”
Sari merasa, jawabannya tersebut adalah
jawaban yang paling tepat untuk merespon ibu guru lesnya tersebut. Tidak ada
yang keliru. Ia tentu saja secara sadar senang dan juga bersyukur ketika ada
seseorang yang mendoakan masa depan dan juga kesehatan Sari di hari ulang tahunnya.
Namun di titik ini, Sari tidak terlalu
membutuhkan doa-doa. Dia pun masih saja memegang ponselnya dengan begitu erat,
berharap ada seseorang yang dapat memberitahukan keberadaan Pak Nanda untuknya.
Sari pun menunggu.
Lewat air mancur menari itulah Sari
dapat belajar menunggu dengan lebih sabar. Menunggu, dalam sikap Sari tidaklah
menjadi sesuatu yang berat. Tidak juga menjadi sesuatu yang perlu disikapi
dengan menggerutu seperti kebanyakan orang di usia sebayanya.
Bagi Sari, menunggu mempunyai andil
penting dalam perubahan sebuah hal. Orang-orang menunggu bis untuk pulang
kerumah, ibu-ibu menunggu suami dan anaknya pulang untuk berbagi cerita bersama
di meja makan. Semakin teguh Sari dalam menunggu, maka semakin sabar ia dapat
melewati prosesnya.
Mungkin, hanya itu yang ia pinta.
***
Sore tadi, Sari menatap air mancur
menari, sekali lagi.
Sekilas, cipratan air mancur menari yang
begitu deras itu sesekali membasahi bagian rumput di dekat air mancur menari
itu. Ingin rasanya Sari dapat memandangi air mancur tersebut dari dekat. Namun,
pagar besi yang dibangun mengelilingi rumah besar itu sebagai pembatas membuat
Sari tidak dapat mendekat ke air mancur tersebut.
Setiap Sari memandangi air mancur itu
dari kejauhan, ia selalu merasa seperti sedang bercermin. Sari merasa lewat cermin
yang selalu ia pandangi tersebut dapat merefleksikan segala apa yang ada dalam
dirinya. Melalui cermin itu juga, pantulan dari anggota tubuhnya akan dapat
terlihat dengan sangat detail dan tanpa cela.
Maka, setiap Sari ingin bercermin dengan
lebih seksama, bukan cermin yang ada di lemari bajunya yang ia cari. Malah, ia akan
selalu memandangi air mancur menari tersebut. Melalui air mancur menari itulah
sebenarnya Sari dapat belajar hingga ia mendapatkan perspektif-perspektif baru
yang dapat ia lihat sebagai bentuk refleksi diri.
Sari lantas menduga bahwa hidup memang
begitu misterius. Ia sendiri tak dapat mengerti mengapa ia lebih senang
memandangi air mancur menari ketika orang-orang sebayanya lebih senang untuk
pergi bersama temannya, berwisata merk-merk kenamaan ataupun mencicipi
hidangan-hidangan kesukaan.
Sejujurnya, Sari sama sekali tidak
tertarik dengan berbagai hal tersebut. Bagi Sari, hidup adalah untaian
pembelajaran, dan dari air mancur menari itulah ia mendapatkan berbagai
pelajaran berharga, paling tidak untuk dirinya sendiri sebagai bekal dalam
menjalani hidup.
Terkadang dalam benaknya, terbersit
sebuah keinginan Sari untuk dapat mengajak Pak Nanda memandangi air mancur
menari itu, bersama-sama. Menikmati keindahan air mancur menari tersebut, dimana
lampu dan laser itu dapat bersatu dengan deras percikan air mancur menari untuk
kemudian membuat bias-bias warna yang berkilauan dan menyilaukan mata.
Betapa Sari ingin sekali dapat menunjukkan
apa-apa saja pelajaran yang didapatnya dari memandang sebuah air mancur
tersebut. Malah, Sari akan lebih bersyukur bila Pak Nanda dapat melihat air
mancur menari tersebut sama seperti bagaimana Sari melihatnya.
Sari pun bagai tenggelam dalam mabuk
oleh angan-angannya. Semangatnya pun melambung hingga ke ujung. Betapa kerlip-kerlip
bias warna yang ditimbulkan oleh air mancur menari itu dapat membuatnya
berpikir dengan lebih tenang. Sari pun lantas semakin kagum terhadap air mancur
menari tersebut.
Sari juga menjadi semakin yakin, bila Pak
Nanda sekarang ini ada disini, disampingnya, serta dapat menikmati air mancur
menari ini bersama-sama, Pak Nanda akan merasakan perasaan yang sama dengan
Sari. Siapa yang tidak suka dengan semburat-semburat air yang dipadu dengan
biasan lampu dan laser yang ditembakkan kearah air mancur menari tersebut
sehingga menimbulkan kesan biasan warna-warni yang membelalakkan mata? Begitu
pikir Sari.
Tiba-tiba, kalut itu kembali lagi
menghadiri pikirannya ketika ia tahu tak ada satu pesan pendekpun dari Pak
Nanda sebagai balasan dari ratusan pesan pendek yang telah dikirim oleh Sari.
Pikirannya kembali membuncah. Namun, Sari tidak pernah ingin menduga-duga. Sari
lebih suka untuk duduk menghadap jendela dan memandangi air mancur menari yang
baginya semakin begitu indah di sore hari. Tangan Sari masih erat menggenggam
ponselnya.
Hening sekali.
Selalu ada melankoli dalam keheningan.
Ia selalu tahu itu.
***
Malam ini, Sari memandangi air mancur
menari, sekali lagi.
Agaknya, kini apa yang diinginkan Sari
mulai tertutup. Ia tahu, ia tidak mampu protes dengan situasi. Menunggu, tentu
bukan kompetisi yang perlu ia arungi. Namun ia nampaknya harus mengerti bahwa
apa yang diidam-idamkannya, tampaknya harus urung tergenggam oleh tangannya. Semua
gagasan dan rencananya, pada akhirnya harus tertunda.
Ponselnya berdering pelan. Pak Nanda
baru saja membalas pesan.
“Hallo, Sari. Maaf ya baru muncul! Ada
apa?”
Sari membuang ponselnya di kasur.
September,
2016
Semarang-Magelang
0 Comments
Post a Comment