Di
dalam benakku, Magelang adalah lingkaran: sebuah hal yang sederhana, namun dari
segala kesederhanaannya itulah muncul hal-hal yang luar biasa sempurna. Meski
begitu, mencintai Magelang rasa-rasanya tak cukup dengan mencintai kotanya
saja. Ia perlu dipahami seluk-beluknya: alur senjanya, sejuk udaranya, bahkan tidak
luput kita perlu memahami liturgi yang dibiaskan oleh gedung-gedung tuanya. Dengan
kata lain, mungkin, jika Magelang adalah lingkaran, kita juga perlu memahami
isi dari lingkaran tersebut.
Yang
paling ideal, Magelang mengingatkanku tentang rumah, yang nyaman dan asri
dengan jendelanya dan ratusan pot bunga di halaman. Ia tempat berteduh di kala
hujan dan terik matahari, serta tempat paling hakiki bagi ibu untuk menceritakan
sejumlah cerita kepada anaknya. Rumah yang menjadi tempat teraman untuk
seseorang berimajinasi menjadi astronot ataupun bajak laut yang berkeliling di
tujuh samudra. Tentang rumah yang melahirkan nilai-nilai mulia dari magis yang
teramat sederhana: pelukan orang tua.
Kiranya
tidak sulit untuk mendefinisikan Magelang sebagai rumah.
Magelang
adalah kota yang begitu unik, maka aku menyebutnya rumah.
Seperti
sebuah band asal pulau Bali Dialog Dini
Hari yang membuat catatan sebagai berikut: “semua orang bisa mendefinisikan
rumah bagi diri mereka sendiri. Tak ada satu definisipun yang salah. Rumah
adalah tumpuan, poros, menjadi magnet, menjadi pusat rotasi hidup dan
kehidupan. Semua jalan yang kita tempuh, adalah jalan pulang menuju rumah.”
Maka, jika Magelang benar merupakan rumah kita dan kita benar-benar begitu
mencintai Magelang, masihkah kita sudi mengotorinya terus-menerus tanpa
berusaha membersihkannya?
Bagiku,
rumah adalah tempat paling nyaman untuk menulis. Ide dan kehangatan adalah dua
aspek penting dalam menulis: Magelang mempunyai aspek itu. Jelas saja, karena
Magelang adalah rumah. Rumah yang teramat nyaman.
Berbicara
tentang Magelang, teringat peristiwa 2 tahun yang lalu ketika aku berjalan di
jalan pecinan kota Magelang setelah singgah sejenak menikmati kopi di salah
satu café di sekitar, menikmati senja – hingga malam, yang tampak begitu
berbeda kala itu. Lantas aku menuangkannya ke dalam sebuah puisi.
kota
tua dan jalan-jalan yang tak tentu arah
1.
Tunggu dan jangan gegabah
Melaju mengayun kaki melangkah
Di kota usang, selalu ada seribu
simpang
Mengantar kita di kerumunan jalang
Katamu di sini tempatmu belajar
mengeja
Kau tak ingin sampai, di atas hujan
kau berbisik
Di tempat ribu kaki yang entah
siapa
Lingkar yang kini semu, henti waktu,
tanpa detik
2.
Malamku dan malammu adalah sebuah
toko pecinan yang penuh remang-remang,
Isinya patung serdadu hijau yang
berserakan
Dan segala pernak-pernik
kegelisahan tak tentu makna,
Tak ada yang mengantar kita,
Namun seperti yang kau bilang: malam
yang riuh adalah malam dengan ribuan festival bintang, menuju kenang
mungkin kau suka, bukankah engkau
suka dengan kerlip yang memanja?
3.
Teater tua mengantar kita
tanggalkan kejenuhan
Hanya kita, bangku-bangku yang
bisu, dan rembulan yang tak pernah patah arang
Kau bilang Magelang, aku bilang
kota tua yang tak putus asa
Berbagi helai makna untuk sela-sela
waktumu
Sebab waktu tak lagi bertaruh
dengan malam-malam yang telah kita lalui
Barangkali kita lupa merasakan
kota-kota purba yang telah berganti muka
4.
Hasrat hanya mengantar kita sejauh
ini
Kota tua dan jalan-jalan tak tentu
arah
Tentu binar-binarnya terasa, namun
yang kita cari tak pernah bersua:
Dialog puing-puing, di sudut-sudut
itu, di relung-relung itu
Malam sudah sangat jauh,
manusia manusia berubah menjadi
nokturno. Mengawetkan malam bersama gonggongan anjing liar
tunggu, dan jangan gegabah
di kota tua, selalu ada sejuta
simpang..
Aku
selalu percaya bahwa rumah yang baik akan selalu memberikan hal-hal yang baik
pula. Salah satu hal baik yang diberikan Magelang kepada kita: makanan.
Aku
teringat ketika masa-masa sekolah dasar dulu aku diajak oleh kedua orangtuaku
untuk mencicipi salah satu makanan khas Magelang: sop senerek. Sejak saat
itulah aku menyukai makanan yang di Negeri Belanda bernama sop “snert” ini.
Ibuku bahkan mempunyai julukan khas untuk sop senerek tersebut. “Makanan para
raja” kata ibuku tempo dulu. Jadi jelas, bahwa sop senerek telah benar-benar
menjadi makanan sarat semiotika, setidaknya bagi keluarga kami.
***
Pada
akhirnya, jalan apapun yang kita tempuh, adalah jalan menuju rumah. Rumah yang
nyaman dengan sofa, secangkir kopi, dan segala pernak-perniknya. Namun, apalah
arti rumah jika ia tak memiliki hati untuk kita tinggali?
Karena
aku percaya, tanpa hati, manusia takkan mampu menjadi merdeka. Ia menjadi
hampa, kosong dalam kegelapan. Pada hakikatnya kita memerlukan hati untuk
kehangatan; mengisi ruang kosong untuk kita tinggali. Hal itu – saya yakin --
ada pada Magelang. Karena Magelang adalah hati kita, maka pantas sekali ia
untuk kita jaga. Untuk sampai di titik ini, kita tak perlu sampai ke mana-mana,
kita hanya perlu mengerti.
Magelang – Semarang, Maret 2015
Sebuah dialog puing-puing
0 Comments
Post a Comment